biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)

biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)
karena cinta yang sederhana tidak pernah menuntut.

Sabtu, 23 Desember 2017

2017 Dan Segala Keajaibannya

2017

Untuk saya, 2017 diawali dengan kasar. Dengan hati penuh marah, dengan ketenangan yang pergi meninggalkan saya sejak penghujung tahun 2016. Keluhan, kemarahan, dan kesedihan adalah kawan karib saya selama awal tahun 2017. Memutuskan untuk melanjutkan sekolah atau kembali ke Kuala Lumpur untuk bekerja merupakan keputusan berat yang harus saya pilih.

Pada bulan keempat tahun 2017, akhirnya saya membuat nazar, bahwa jika saya lulus ujian masuk perguruan tinggi, artinya Tuhan menyuruh saya untuk lanjut sekolah dulu daripada bekerja lagi. Baiklah.

April sampai Mei 2017 merupakan bulan yang berlalu secepat kilat. Persiapan ujian masuk perguruan tinggi sungguh menyita waktu saya. Belajar dari siang sampai malam hanya untuk persiapan ujian.

Setelah ujian selesai, saya tenang menunggu pengumuman dengan prinsip bahwa apapun yang terjadi, itu adalah jalan Tuhan untuk saya.

Sampai kemudian saya dinyatakan lulus. Babak kehidupan baru dimulai, saya pindah ke Depok, hijrah dan memulai lagi kehidupan baru dari 0. Tanpa teman, tanpa keluarga. Sendiri. It’s KL all over again.

Setelah sebelumnya sangat sangsi bahwa saya akan menemukan teman-teman asik di perkuliahan saya, saya ditampar oleh kenyataan bahwa jangan sekali-sekali mencoba mendahului Tuhan. Siapa sangka, di Depok saya mendapat teman-teman seperjuangan sekolah lagi yang luar biasa asiknya. Asik diajak kerja, asik diajak main, lucu, menghibur, meriah… Dan, duh, jujur saja, 4 tahun saya di KL jadi seperti tidak ada apa-apanya dibanding rasa yang saya invest ke teman-teman saya selama 4 bulan di Depok ini.

2017, seperti tahun-tahun lalu. Berhasil menampar saya dengan tamapran terkerasnya. Berhasil menjorokkan saya hingga saya hampir menyerah di ujung tebing dan hampir memutuskan untuk lompat. Tapi, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, saya bangkit setelah ditampar. Saya berpegang erat pada tali penahan yang tidak seberapa kuat setiap kali kehidupan dengan caranya sendiri selalu bisa mendorong saya ke tepi tebing. Saya, bertahan.

Saya menutup 2017 dengan rasa terimakasih kepada semesta. Atas teman-teman yang baik. Atas kehidupan yang baik. Atas segala tugas dan ujian yang melelahkan tapi berhasil saya lalui. Atas rasa bahagia yang saya pikir tidak mungkin saya rasakan lagi.

Saya menutup 2017 dengan hati yang hangat.


Dear 2018, bring it on. I’m ready.

Selasa, 24 Oktober 2017

Jakarta adalah

Jakarta itu keras.
Jakarta adalah tentang belajar menerima diri sendiri apa adanya.
Jakarta adalah tentang berlari berkejaran dengan waktu, melihat siapa yang berhasil mencapai garis akhir terlebih dahulu.
Jakarta adalah tentang berdesakan, menerima bahwa kau harus membagi dunia ini dengan jutaan orang asing lainnya.
Jakarta adalah hal belajar, bahwa mencintai diri sendiri itu penting.
Jakarta adalah tentang menerima bahwa pada akhirnya, dirimu sendiri yang harus menarikmu dari keterpurukan.
Jakarta adalah tentang memasang headset yang memainkan lagu kesayangan, dengan volume yang membuatmu lupa akan dunia sekitar.
Jakarta adalah tentang egois, sekaligus tentang menjadi baik dan ramah kepada sesama orang asing.
Jakarta adalah tentang belajar bahwa kesendirian itu hal yang biasa saja.
Jakarta adalah tentang mencoba.
Mencoba memahami bahwa saat kau merasa kau punya masalah paling berat di dunia ini, di luar sana masih banyak yang berperang dengan masalah yang jauh lebih berat.

Rabu, 02 Agustus 2017

Berjalan Tanpa Kamu

Tahunan saya belajar berjalan tanpa kamu.

4 tahun saya habiskan, tertatih, belajar berjalan tanpa kamu. Belajar mencari tahu seperti apa rasanya melalui seminggu penuh tanpa sehari pun bertemu kamu. Mencari tahu seperti apa rasanya bulan berjalan tanpa saya duduk di bangku kantoria, mendengar samar suaramu, mematuhi panduanmu di paduan suara. Mencari tahu seperti apa rasanya setahun berlalu dan aku hanya mempunyai kesempatan bertemu denganmu sejumlah yang bahkan tidak memenuhi jumlah jari tanganku.

4 tahun saya jalani, dengan janji dan harapan pasti bahwa semua akan berakhir. Bahwa saya akan merasakan lagi yang namanya latihan paduan suara dua kali seminggu. Saya akan merasakan lagi tugas pelayanan kantoria di gereja sebulan sekali. Saya akan merasakan lagi setiap hari rabu bertemu deganmu, beribadah bersama.

1 tahun belakangan ini, tahun terbaik yang pernah saya alami di hidup saya. Hubungan kita yang setelah terpisah 4 tahun menjadi semakin lebih dekat. Saya jadi lebih sering nempel-nempel denganmu. Kamu jadi lebih sering memanggil panggilan sayang kepada saya. "dek", "cyn", "sayang", adalah panggilan yang sangat wajar terdengar darimu saat memanggilku. Posisi kita yang berdekatan dan tidak bisa tanpa saling nempel seperti prangko. Entah kamu yang bersender kepada saya. Entah saya yang meletakan kepala saya di bahumu, entah kita berpelukan.. saya merasa begitu bahagia, begitu dekat, begitu berarti buatmu.

Tidak pernah terbayangkan bagi saya ajan mengalami lagi perpisahan yang saya ciptakan sendiri ini untuk kedua kalinya denganmu. Maafkan aku, sungguh. Kali ini, periodenya akan lebih pendek. Lagipula, aku akan selalu pulang. Aku sudah membuktikannya, kan?

I love you. Deeply. Dearly. Your words when you said this was our last birthday we celebrate together before our separation broke my heart. But in two years, i'll be back. i'll be here again. coming to you. coming home.