biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)

biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)
karena cinta yang sederhana tidak pernah menuntut.

Selasa, 28 Januari 2014

Cerpen : Kursi Kosong Itu.

Langit sore itu terasa berbeda. Kotaku yang sejuk dan tenang mendadak menjadi suram. Awan yang biasanya tersenyum ramah, kini murung dalam warna gelapnya yang dalam. Saat itu pula aku memandang kursi kosong di depanku. Kursi yang biasanya ditempati oleh dia. Lelaki yang sepenuhnya memiliki hatiku. Lelaki yang deminya aku rela menjadi ini dan itu sesuai keinginannya. Lelaki yang sama pula yang pergi meninggalkanku, tanpa ku tahu sebabnya.

Kita berjanji bertemu di kafe itu.
"Ada apa? Mengapa mengajakku bertemu?" tanyamu dengan ketus.

"Aku ingin bicara. Sedikit saja. Aku meminta sedikit dari sekian banyak waktumu itu" jawabku dengan pelan. Berusaha tidak memperdulikan ketusnya suaramu.

"Tapi, kenapa di kafe itu, sih?!"

"Aku ingin minum kopi. Kau tahu benar hanya tempat itu yang bisa menyediakan kopi yang cocok dengan seleraku" kataku. Dan sedetik kemudian, aku baru sadar. Rasanya gong besar dalam kepalaku berbunyi. Kamu, meski tahu benar, tapi nyatanya sudah tidak pernah perduli (lagi) apapun tentangku.

Duduk di sini, sendiri. Bersama kursi kosong di hadapanku. Menantikan kedatanganmu. Avanza hitam yang sangat ku kenal itu perlahan memasuki lahan parkiran kafe.

Tak lama kemudian, kau duduk di hadapanku. Muncullah kalimat yang tidak ku sangka akan hadir dari mulutmu. "Ada apa? Bisa cepat sedikit, kan? Aku ada urusan"

"Ri.. aku cuma mau tanya satu hal. Tentang kita..." belum sempat aku menyelesaikan satu kalimat, lantang kau menjawab, "Ada apa dengan kita? Bukankah semua sudah jelas?"

"Ri.." panggilku dengan memelas. Berharap dia akan menurunkan suaranya demi mengurangi perhatian-perhatian dari orang-orang sekeliling kami. "Aku cuma mau tanya.. Aku salah apa? Ada apa dengan kita? Kenapa kamu pergi?"

"Pertemuan ini omong kosong. Kau tahu benar aku tidak akan menjawab pertanyaan itu. Bukankah sudah ku katakan berulang kali? Tidakkah kau mengerti bahwa aku masih tetap mempunyai jawaban yang sama?"

"Aku gabisa terus-terusan diam tanpa jawaban yang jelas seperti ini, Ri. Kamu yang mengajakku membangun bersama benteng untuk bertahan. Kamu yang menyeretku ke hubungan ini. Dan kamu juga yang pergi? Tanpa aku tahu alasannya?"

"Lula, harusnya kamu tahu, saat orang tak lagi mencarimu, artinya dia tidak lagi membutuhkanmu. Titik."

Aku terdiam mendengar jawaban itu. Mencoba menguasai diri untuk kembali menjawab, "Sehina itukah aku sampai-sampai tidak berhak untuk tahu kenapa kamu pergi? Tolonglah, Ri.. Setiap pertanyaan di dunia ini butuh jawabannya"

"Aku tidak yakin padamu. Aku tidak yakin kita akan bahagia. Masih kurang?"

"Sedangkal itukah kamu menganggap apa yang sudah kita jalani selama ini? Ri.. Aku berharap lebih.."

"Simpan harapanmu itu untuk orang lain, La.."

Dan kemudian kau pergi begitu saja. Tanpa kau tahu, kaulah satu-satunya orang yang pernah aku beri harapan sebegini besarnya.

Sore itu, aku tahu. Langit mendung itu, bermaksud menemaniku.

Dan kursi di hadapanku, kembali kosong.

"Dan cinta kita bersembunyi, di ujung bahasa yang tak dilanjutkan"

Goenawan Mohamad

"Jangan sengaja pergi agar dicari. Jangan sengaja lari biar dikejar. Berjuang tidak sebercanda itu"

Sudjiwo Tedjo


4 komentar:

  1. Cerpennya keren, nyampe ke hati. Soalnya dulu waktu SMP aku juga pernah ngalamin hampir percis sama yang cerpen kamu buat ini.

    Ditunggu cerpen-cerpen selanjutnya. :D

    BalasHapus
  2. nice words you have there darling. teruskan cyn, di tunggu yang selanjutnya

    BalasHapus