biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)

biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)
karena cinta yang sederhana tidak pernah menuntut.

Jumat, 20 Juni 2014

Dia.

Ku rapikan kembali lipatan kusut di ujung gaunku. Malam ini, aku dan Dio akan merayakan ke 3 tahunnya hubungan kami. 3 tahun sungguhlah bukan waktu yang sebentar  untuk sebuah hubungan. Ibaratnya, waktu 3 tahun sudah cukup bagi kami untuk mengenal satu sama lain.

Tapi, entah mengapa, malam ini terasa berbeda. Tidak sama seperti malam perayaan tahun pertama, atau tahun kedua kita. Malam ini, aku tidak merasakan perasaan hangat yang biasanya selalu aku rasakan setiap kali akan berjalan berdua denganmu. Bahkan, aku hampir saja menolak ajakan perayaan ini. Tapi, aku tidak bisa melukai hatimu. Tidak malam ini, tidak saat kita akan merayakan 3 tahun kebersamaan kita.

"Halo, sayang. Sudah siap? Aku 15 menit lagi sampai." ucap Dio dalam telefon barusan. "Iya sudah siap, nanti kamu kabari saja kalau sudah di depan. Aku tunggu di ruang tengah" jawabku. Berusaha menjaga intonasi suara agar terdengar senormal mungkin.

Dan kamu datang. Dengan wajah segar, rambut tertata tidak terlalu rapi tapi tetap mempesona, kemeja biru malam yang dua kancing teratasnya kamu biarkan tidak terpasang, wangi parfum yang begitu segar, dan tentu saja, senyum sumringahmu itu. Aku sungguh tidak tega tidak membalas senyum tulusmu itu. Tidak malam ini, ucapku sekali lagi dalam hati.

Malam ini berjalan begitu indah dan manis. Setidaknya, terlihat dari matamu. Terlihat dari caramu memandangku, terlihat dari caramu memperlakukanku. Dan aku, sungguh sadar. Menatap matamu malam ini, aku tahu, aku menyimpan bilah pisau paling tajam yang akan menyakitimu begitu dalam.

Ada apa? Tanyaku dalam hati. Apa yang terjadi padamu, Dian? Ada apa? Apa salah Dio? Mengapa perasaan ini harus ada, mengapa harus muncul?

Tidak. Mempertahankan hubungan ini sama saja dengan terus menyakiti Dio, dan diriku sendiri. Menyakiti kita berdua lebih dalam.

Sekali lagi, memandang matamu, aku berkata dalam hati. Tidak. Tidak malam ini. Sungguh. Aku sungguh tidak siap menorehkan luka pada hatimu dengan pisauku malam ini.

4 bulan kemudian.

Dio sedang asyik berlari di tengah lapangan, berusaha mencetak gol, menggiring bola ke arah gawang. Aku tersenyum, duduk mentapnya dari kejauhan. Sungguh Dio yang ku kenal. Betapa semua bisa terpancar dengan sangat jelas dari matanya. Betapa semua kesedihan dan kegembiraan bisa terbaca dengan sangat mudah melalui ekspresi wajahnya.

Ya, aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan pernah bisa menyakiti Dio. Tidak untuk seorang pria yang menyimpan cinta yang begitu besar untukku. Aku pernah patah sekali, patah oleh seseorang yang tidak layak. Yang tidak tahu cara menghargai setiap hati yang mencintainya. Aku tidak akan melakukannya. Tidak untuk Dio. Tidak untuk lautan cintanya padaku.

Biarlah pisau itu ku genggam dengan tangan kosongku, biarlah berdarah. Biarlah dunia tahu, bahwa cinta tidak hanya bisa diperlihatkan dengan satu cara. Dan ini, caraku mencintainya.

posting pertama proyek #WhatIfLove milik @aMrazing. semoga akan ada post kedua, ketiga, dan seterusnya.


3 komentar:

  1. ada yang g ngerti. maksudnya mo mutusin Dio gt, tp ga sanggup bilangnya. begitu bukan maksudnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. yep, tokoh Dian ini aku buat ga sanggup untuk mutusin Dio karna ga mau liat Dio tersakiti. Dian sudah pernah merasakan sakit yang sama. dan di sisi lain Dian tau Dio punya cinta yang besar dan tulus buat dia. thats it.

      thanks sudah mampir ;)

      Hapus