biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)

biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)
karena cinta yang sederhana tidak pernah menuntut.

Sabtu, 22 November 2014

Aku Ada

Dalam diam, dalam semua perbuatan yang sungguh tidak perlu digegap gempitakan oleh suara. Dalam setiap hela napas yang jelas nampak betapa aku mencintai kamu.

Dalam setiap tatapan mata dan kecupan kecil yang istimewa bagiku. Dalam setiap kesempatan untukku menjadi yang satu-satunya bagimu.

Dalam setiap kesempatan melindungimu dari apa-apa saja, dalam setiap di mana aku jelas bisa menjadi yang kau andalkan.

Dalam setiap sandaran yang kau cari saat kau kelelahan, aku selalu ada.

Dalam setiap kalimat sederhana yang tanpa sengaja aku ucapkan, justru adalah tempat yang paling jelas menyatakan betapa aku memujamu.

Dalam setiap sikap posesif yang tidak pernah bisa kamu fahami, aku ada. Melindungimu mati-matian dengan caraku yang mungkin selalu gagal kamu mengerti.

Dalam setiap pertengkaran di mana aku gagal memberitahumu dengan lugas betapa aku cemburu. Betapa aku tidak ingin kamu dimiliki orang lain. Betapa aku ingin kamu hanya menjadi milikku.

Dalam setiap hembusan angin, hanya namamu yang sungguh bergema dalam setiap ruang di pikiranku.

Dalam setiap penolakan dan pembuanganmu atas diriku, dan setiap kebodohan yang aku lakukan; terlunta-lunta kembali kepadamu. Seperti seekor anak kucing yang telah dibuang jauh tapi tetap bisa kembali menemukan jalan pulang. Menyedihkan

Dalam setiap ketiadaan, aku ada.

Kamis, 20 November 2014

Super (galau dan gila) Trivia

Jadi hari ini, lagi super duper iseng dan kurang kerjaan. Cari-cari twit lama, sampai jaman tahun 2012an. Sampe di bulan november, terus kebaca sesuatu. Lah..... di sini kan mulai jaman-jamannya habis diphp tuh....... kemudian, ngakak-ngakak sendiri.

Mulai dari twit pertama kali liat dia, setelah sekian lama cuma chat doang. Trus pertama kali nonton bareng, terus galau-galaunya... semuanya lengkap.

Sebagian diri rasanya sedih. Sebagian diri ngakak. Sebagian diri geli. Sebagian lagi (banyak, ya, bagiannya) sadar bahwa saya memang sesayang itu (dulu) sama dia.

Inget betapa senengnya pertama kali nonton bareng dulu. Inget betapa gemesnya kalau uda dia bertingkah macem-macem. Inget betapa paniknya dia waktu saya sampai sini dan gabisa dibbm karna jaringan waktu itu lagi eror dan ujung-ujungnya dia sms dan saya ga buka henpon satunya dan dia panik dan paginya baru saya balas dan dia marah-marah....

Ada juga saat saya sedang stress banget dengan ujian saya, dan kamu malah bbm dengan konyol dan saya bukannya kesel, tapi malah seneng banget.. Saat kamu ada flight pagi, minta aku bangunin tidur jam 6, ternyata malah akunya sendiri yg bangun jam 8.30. hahaha.

Ada juga waktu saya cemburu. Kamu ga bales bbm tapi malah twitteran *dengan twitter via blackberry, plislah* dan kemudian saya kepikiran buat unfollow kamu..

Semester pertama saya di sini, menjadi saksi, betapa satu kalimat bbm dari kamu bisa membuat saya semangat belajar. Betapa kalimat "cyn baik-baik ya, kuliahnya. cepat lulus" bisa begitu memotivasi saya (bahkan sampai sekarang). Betapa khawatirmu saat asma saya kambuh sementara kamu tidak tahu harus berbuat apa malah membuatku tertawa, merasa kamu mengkhawatirkanku selamanya akan menjadi hal paling lucu sedunia.

Semua tersimpan dengan baik, termuseum di twitter saya.

Its been 2 years.. kamu tidak seistimewa dulu, tapi tetap punya tempat khusus di hati saya. 2 minggu lalu, saya melihatmu. Dengan dia yang baru yang mungkin saja begitu bisa membahagiakanmu lebih dari saya membahagiakanmu. Selamat, ya. I'm so happy for you.

Semoga pencarianmu sungguh berhenti di dia, ya. Saya ikut bahagia.

Maaf, saya tidak mungkin melupakan kamu, dan semuanya. You're part of my life. How am i supposed to erase you from my life? Tapi, sungguh saya sudah bisa menerima semuanya sekarang. Fakta bahwa saya pernah menyayangimu dengan begitu, membuat saya sekarang sadar. Kamu berhak bahagia.

Terimakasih, untuk kebahagiaan yang pernah kamu tawarkan dan berikan. Dari membaca ulang semua status twitter saya, saya sungguh sadar, kamu pernah begitu berharga. Dan saya, pernah begitu bahagia.

Selasa, 11 November 2014

Cerpen : Pada Akhirnya

Karena memang pada akhirnya, akan ada yang tersenyum, dan harus ada yang terluka.

Berkali aku menatap bayang di cermin itu. Bahkan, gaun warna kelabu yang dikenakan gadis dalam cermin itu tidak bisa menutupi aura gembiranya. Gadis dalam cermin itu, aku.

Ku lirik sekali lagi jam di pergelangan kiri tanganku. 25 menit dari janjinya untuk menjemputku. Dan aku, sudah lebih dari sekedar siap.

Tak lama kemudian, telefon genggam di meja rias di depanku berbunyi. Dari Dion, pria yang 25 menit lagi akan makan malam bersamaku. Sesuai janjinya. Ada apa dia menelfon? Tidak biasanya.

“Halo? Iya, Di.. Kenapa?”
“Sorry, Dri.. Bisa kita batalin aja janjinya?” Katamu dengan suara pelan.
Lututku lemas seketika. Pupus sudah harapan menghabiskan malam berdua denganmu.

“Yah.. Kenapa, Di?”
“Rachel sakit, demam. Dari tadi sore ngeluh kepalanya pusing. Aku ga tega mau ninggalin dia.”
Seketika godam besar menghantamku. Menjadi yang kedua, memang tak pernah mudah. Dari awal, aku tahu. Semua memang tidak pernah berjalan dengan benar.

“Yaudah, deh.. Gapapa, Di..”
“Maaf banget ya, Dri.. kamu pasti uda siap berangkat, deh”
“Gapapa, kok, Di.. kasian Rachel sakit. Nanti kan kita bisa kapan-kapan lagi janjian.”

Dan baru sekali ini, dalam kurang lebih 2 tahun hubungan kita, kau menutup telefon tanpa mengucapkan salam perpisahan.

Aku menarik napas dalam. Berusaha mengusir lelah. Lelah karena menjadi yang kedua. Lelah karena lebih banyak dianggap tiada. Lelah karena selalu mengalah.

Bertahun aku tak pernah menjadi yang pertama. Tak pernah diutamakan. Selalu saja seperti ini. Selalu kalah dari bayangan seorang perempuan bernama Rachel. Istri Dion. Istri dari pria nomer 1 di hidupku saat ini.

Meskipun aku tau semua ini hanya membunuhku secara perlahan, tapi tetap saja aku dan otakku yang bodoh ini tidak bisa melupakan Dion. Selalu saja, setiap kali aku mau menyerah, detik itu pula Dion muncul di hadapanku dengan segala kharismanya, dan membuatku kembali luluh lantak.

Sama seperti kali ini. Maskara yang sudah terpasang rapi di mataku, kini hanya membuat wajahku menjadi seperti topeng badut yang menyeramkan. Menghancurkan segala kecantikan yang sudah ku persiapkan berjam-jam demi Dion.

Kali ini, aku kembali kalah.

————

Sudah 3 minggu berlalu dari kencan gagal itu. Dion tetap tidak menghubungiku dan tidak bisa dihubungi. Sudah cukup sabarku. Kalau sampai siang ini dia tetap tidak merespon telfonku, aku akan mendatangi kantornya.

Entah apakah memang kamu memiliki feeling yang kuat, atau semua hanya kebetulan. Ada nada dering dari telfon genggamku. Dari Dion.

“Hei. Kamu kemana aja kok ga bisa dihubungin 3 minggu ini?”
“Drina, maaf. Aku mau ngomong sesuatu. Aku rasa… kita harus sudahi apapun namanya ini. Apapun yang kita jalani ini. Semua salah. Semua tidak pada tempatnya.”
“Dion…. kamu ga ada kabarnya 3 minggu, dateng-dateng ngomong gini..”

“Maaf, Drina. tapi, Rachel hamil. Aku ga mungkin terus-terusan jalan sama kamu sementara istriku sedang hamil.”

Seketika ada petir menyambar dalam kepalaku. Kamu, tidak pernah menyebut Rachel sebagai istrimu. Tidak di hadapanku.

Sekian menit berlalu dalam hening. Dion, mungkin sudah tidak tahan lagi. Dia berkata, “Drina.. maaf. Aku harus memilih. Aku tahu dari awal hubungan ini ga seharusnya ada. Kamu ga seharusnya merasakan ini”

“Udahlah, Di. gapapa. Aku paham, kok. Aku mengerti,dari dulu aku memang selalu kalah. Bahkan dalam peperangan yang tidak pernah aku ikuti. Semoga kamu bahagia dengan Rachel. Semoga dia sehat terus sampai anak kalian lahir.”

Dion terdiam. Mungkin, dengan segudang penyesalan. Atau tidak sama sekali. “Sekali lagi, maaf, Drina. Dan terimakasih”

Aku bahkan sudah tidak punya tenaga untuk berkata-kata. Ku biarkan Dion memutuskan sambungan telefon. Aku juga tidak lagi mempunyai sisa tenaga sedikitpun bahkan untuk menangis. Dan kesedihan yang paling menyakitkan itu adalah kesedihan yang tidak dapat kau tangiskan.

Aku, menagisi perpisahan yang ku ciptakan sendiri.
Aku, melepas dia yang bahkan tidak pernah ku genggam sebelumnya.

Hancur rasanya. Jatuh, dan pecah berkeping. Tanpa pernah tergapai.