biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)

biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)
karena cinta yang sederhana tidak pernah menuntut.

Selasa, 11 November 2014

Cerpen : Pada Akhirnya

Karena memang pada akhirnya, akan ada yang tersenyum, dan harus ada yang terluka.

Berkali aku menatap bayang di cermin itu. Bahkan, gaun warna kelabu yang dikenakan gadis dalam cermin itu tidak bisa menutupi aura gembiranya. Gadis dalam cermin itu, aku.

Ku lirik sekali lagi jam di pergelangan kiri tanganku. 25 menit dari janjinya untuk menjemputku. Dan aku, sudah lebih dari sekedar siap.

Tak lama kemudian, telefon genggam di meja rias di depanku berbunyi. Dari Dion, pria yang 25 menit lagi akan makan malam bersamaku. Sesuai janjinya. Ada apa dia menelfon? Tidak biasanya.

“Halo? Iya, Di.. Kenapa?”
“Sorry, Dri.. Bisa kita batalin aja janjinya?” Katamu dengan suara pelan.
Lututku lemas seketika. Pupus sudah harapan menghabiskan malam berdua denganmu.

“Yah.. Kenapa, Di?”
“Rachel sakit, demam. Dari tadi sore ngeluh kepalanya pusing. Aku ga tega mau ninggalin dia.”
Seketika godam besar menghantamku. Menjadi yang kedua, memang tak pernah mudah. Dari awal, aku tahu. Semua memang tidak pernah berjalan dengan benar.

“Yaudah, deh.. Gapapa, Di..”
“Maaf banget ya, Dri.. kamu pasti uda siap berangkat, deh”
“Gapapa, kok, Di.. kasian Rachel sakit. Nanti kan kita bisa kapan-kapan lagi janjian.”

Dan baru sekali ini, dalam kurang lebih 2 tahun hubungan kita, kau menutup telefon tanpa mengucapkan salam perpisahan.

Aku menarik napas dalam. Berusaha mengusir lelah. Lelah karena menjadi yang kedua. Lelah karena lebih banyak dianggap tiada. Lelah karena selalu mengalah.

Bertahun aku tak pernah menjadi yang pertama. Tak pernah diutamakan. Selalu saja seperti ini. Selalu kalah dari bayangan seorang perempuan bernama Rachel. Istri Dion. Istri dari pria nomer 1 di hidupku saat ini.

Meskipun aku tau semua ini hanya membunuhku secara perlahan, tapi tetap saja aku dan otakku yang bodoh ini tidak bisa melupakan Dion. Selalu saja, setiap kali aku mau menyerah, detik itu pula Dion muncul di hadapanku dengan segala kharismanya, dan membuatku kembali luluh lantak.

Sama seperti kali ini. Maskara yang sudah terpasang rapi di mataku, kini hanya membuat wajahku menjadi seperti topeng badut yang menyeramkan. Menghancurkan segala kecantikan yang sudah ku persiapkan berjam-jam demi Dion.

Kali ini, aku kembali kalah.

————

Sudah 3 minggu berlalu dari kencan gagal itu. Dion tetap tidak menghubungiku dan tidak bisa dihubungi. Sudah cukup sabarku. Kalau sampai siang ini dia tetap tidak merespon telfonku, aku akan mendatangi kantornya.

Entah apakah memang kamu memiliki feeling yang kuat, atau semua hanya kebetulan. Ada nada dering dari telfon genggamku. Dari Dion.

“Hei. Kamu kemana aja kok ga bisa dihubungin 3 minggu ini?”
“Drina, maaf. Aku mau ngomong sesuatu. Aku rasa… kita harus sudahi apapun namanya ini. Apapun yang kita jalani ini. Semua salah. Semua tidak pada tempatnya.”
“Dion…. kamu ga ada kabarnya 3 minggu, dateng-dateng ngomong gini..”

“Maaf, Drina. tapi, Rachel hamil. Aku ga mungkin terus-terusan jalan sama kamu sementara istriku sedang hamil.”

Seketika ada petir menyambar dalam kepalaku. Kamu, tidak pernah menyebut Rachel sebagai istrimu. Tidak di hadapanku.

Sekian menit berlalu dalam hening. Dion, mungkin sudah tidak tahan lagi. Dia berkata, “Drina.. maaf. Aku harus memilih. Aku tahu dari awal hubungan ini ga seharusnya ada. Kamu ga seharusnya merasakan ini”

“Udahlah, Di. gapapa. Aku paham, kok. Aku mengerti,dari dulu aku memang selalu kalah. Bahkan dalam peperangan yang tidak pernah aku ikuti. Semoga kamu bahagia dengan Rachel. Semoga dia sehat terus sampai anak kalian lahir.”

Dion terdiam. Mungkin, dengan segudang penyesalan. Atau tidak sama sekali. “Sekali lagi, maaf, Drina. Dan terimakasih”

Aku bahkan sudah tidak punya tenaga untuk berkata-kata. Ku biarkan Dion memutuskan sambungan telefon. Aku juga tidak lagi mempunyai sisa tenaga sedikitpun bahkan untuk menangis. Dan kesedihan yang paling menyakitkan itu adalah kesedihan yang tidak dapat kau tangiskan.

Aku, menagisi perpisahan yang ku ciptakan sendiri.
Aku, melepas dia yang bahkan tidak pernah ku genggam sebelumnya.

Hancur rasanya. Jatuh, dan pecah berkeping. Tanpa pernah tergapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar