biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)

biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)
karena cinta yang sederhana tidak pernah menuntut.

Minggu, 05 Juni 2016

Saya Dan Melayani.

Hidup saya, sejak kecil sudah dihabiskan di gereja. Mengikuti seabrek kegiatan keagamaan. Bukan mau sok religius, tapi memang iya. Sejak kecil entah kegiatan apa saja yang sudah orang tua saya berikan kepada saya, semuanya kegiatan gereja. Sekolah Minggu, kegiatan lomba anak-anak, paduan suara. Orang tua saya melakukan itu kurang lebih karena saya susah bergaul (iya, dari kecil uda introvert, diem). Saya hanya suka duduk diam di rumah, membaca buku, membaca majalah, apa saja kecuali keluar rumah. Tapi orang tua saya tahu, saya menemukan teman dan bisa enjoy jika saya mengikuti kegiatan gereja.

Umur 12 tahun, saya mulai menyikapi serius kegiatan pelayanan saya. Tidak hanya ikut paduan suara, saya les keyboard. Mimpi saya waktu itu ingin secepatnya menjadi pelayan sayap kiri di gereja, pelayan musik dan paduan suara. Pertama kali saya melayani main musik di gereja, saya umur 13 tahun. Dan saya tidak berbicara tentang main di gereja pusat, yang besar di tengah kota Samarinda. Umur dan pengalaman saya yang minim membuat saya menjadi (kasarnya) cadangan. Saya dikirim ke pedalaman Samrinda, yang hanya bisa diraih dengan perjalanan darat 2-3 jam (rata-rata) untuk main di pos pelkes, sebutan untuk gereja dari cabang di Samarinda. Gereja kecil, dengan jemaat para petani, atau orang tua yang bahkan sudah susah payah untuk berjalan ke gereja. Anak seusia saya biasanya malas pergi ke pos pelkes, meskipun terkadang orang tuanya dapat jadwal dari gereja untuk berkunjung ke pos pelkes. Ya karena itu, jauh, dan cuma liat hutan, tidak ada yang menarik. Di fase kehidupan saya yang ini, saya benar-benar belajar apa itu melayani. Karena sungguh, melayani tidak kenal tempat, tidak kenal lelah.

2 tahun kemudian, saya mulai menjadi pemain musik tetap di gereja pusat. 1 bulan, saya bisa mendapat 2-3 kali jadwal bermain di hari minggu. Di luar kegiatan rutin latihan paduan suara sektor Emaus saya, waktu saya komplit tersita oleh kegiatan-kegiatan ini. Di saat teman-teman seusia saya sibuk mengatur waktu untuk jalan bersama, saya selalu saja terhalang oleh "wah, nanti malam aku latihan.." atau "wah, gabisa, aku ada ibadah" selalu seperti itu. Dan hal ini membuat saya mempunyai sangat sedikit teman di masa sekolah saya. Tidak, saya tidak mengeluh.

Sedikitpun tidak.

Saya menjerumuskan diri saya dalam pelayanan. Merasa kurang menjadi pemain musik, saya mengabdikan diri menjadi "seksi sibuk". Ini seksi di mana tugasnya hanya kemana-kemana mengikuti perintah yang lain, karena dalam acara besar di gereja, saya masih belum cukup umur menjadi panitia. Jadi saya tidak pampang nama, tapi ikut bekerja sama kerasnya dengan mereka. Tidak ada spesifik job untuk saya, saya hanya mengerjakan apa saja yang diperintahkan kepada saya. Angkat kursi, bawa kotak makanan, siapin minuman, merapikan meja, tugas apapun, mereka tinggal meneriakan "Cyn!" dan saya otomatis akan datang ke mereka. Dengan bahagia dan senyum.

Masa remaja saya praktis saya habiskan dengan kegiatan ini. Pontang panting kesana kemari demi menyelesaikan tugas pelayanan saya, berdua bersama sahabat saya, pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya, kami jalani dengan bahagia. Sungguh, tidak ada yang bisa membayar harga bahagia yang kami dapatkan saat tau acara yang kami atur sedemikian rupa dengan peluh keringat berakhir sukses.

Saya cinta melayani. Sungguh. Dan hati saya remuk dan hancur ketika saya berangkat untuk belajar di Malaysia. Sungguh pedih meninggalkan sejenak dunia pelayanan. Menghibur diri dengan "nanti pelayanan di Malaysia" sempat membuat saya tenang, sampai saya melihat sendiri situasi sebenarnya di sini.

Saya di sini hanya tergabung di paduan suara, dan itupun jauh dari ekspektasi saya. Mereka melayani karna harus, bukan karena mau. Sangat terasa bedanya karena saya sudah bertahun-tahun melayani karena mau, dan saya menjalaninya dengan bahagia. Hal ini memakan saya hidup-hidup. Perlahan. Satu-satunya obat saya hanya setiap saya pulang ke Indonesia (yang untungnya sering itu) dan ikut pelayanan dengan Emaus. Itupun biasanya 1 kali pulang hanya dapat 1 kali tugas. Gapapa. Udah cukup untuk nge-charge battery saya untuk menunggu sampai kepulangan selanjutnya.

Di umur sekarang, saat teman-teman saya membicarkan apa saja yang mereka lakukan saat sekolah, dan saya hanya bisa bercerita hidup saya dihabiskan untuk pelayanan, sedikitpun saya tidak menyesal. Mereka mendapat kesenangan, mendapat teman saat masa sekolah. Saya mendapat ketenangan jiwa dan saudara seiman, sesuatu yang bisa saya pegang sesisa umur saya.

Menyelesaikan kuliah, 1 yang paling saya tunggu lagi adalah saya yang siap menjerumuskan diri saya lebih dalam lagi ke pelayanan gereja. Mengabdikan hidup saya kepada Dia yang sudah memberikan saya kehidupan. Emaus, kita nyanyi dan pelayanan lagi, yah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar