biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)

biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)
karena cinta yang sederhana tidak pernah menuntut.

Rabu, 14 September 2016

I Did It

4 tahun lalu, pertengahan tahun 2012, tepatnya 25 Juni 2012, saya berangkat ke Malaysia. Dengan penuh semangat, saya merasa bumi hanya sebutir debu di bawah telapak kaki saya. Merasa penuh kekuatan, menantang dunia. Merasa 4 tahun yang akan saya jalani untuk kuliah akan berlalu menyenangkan. Ternyata, saya salah.

Hanya perlu sekitar satu tahun untuk saya menyadari bahwa keputusan saya untuk kuliah ke Malaysia adalah keputusan yang salah. Oh, tunggu dulu. Itu sebenarnya bukan keputusan saya. Seperti yang saya pernah ceritakan, keinginan saya dari dulu (sejak Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas) hanyalah kuliah di Jogja atau Malang. Ya, sesederhana itu. Keputusan mendadak orang tua saya bahwa lebih baik saya belajar luar negeri begitu tiba-tiba, sehingga rasa yang ada bukanlah rasa takut atau khawatir, tapi rasa semangat. Deg-degan akan memasuki dunia baru, mempelajari hal baru, kuliah dengan jurusan yang sudah saya impingan dan inginkan sejak kecil, menjadi pemacu adrelanin saya untuk satu tahun pertama.

Sampai kemudian saya memasuki tahun kedua. Perasaan homesick pun mulai menyerang. Saya selalu ingin pulang setiap ada liburan, tidak perduli sesingkat apapun liburan itu. Satu tahun, saya bisa 4-5 kali pulang. Melelahkan, memang. Tapi saya sungguh tidak betah berada lama-lama di sana. Tidak hanya mulai merasa tidak betah, pelajaran tahun kedua yang mulai menyusahkan pun membuat saya semakin lelah.

Tahun ketiga, semua semakin buruk saja. Selalu ada hal kecil maupun besar yang saya permasalahkan. Perasaan tidak betah dan ingin segera terlepas dari dunia perkuliahan membuat saya kalap, mengambil semua mata kuliah (selama masih diijinkan), berlari dengan waktu, berharap segala usaha saya bisa mempersingkat waktu saya berada di sini daripada yang seharusnya.

Sampai memasuki tahun ke empat. Pelajaran semakin rasanya membunuh saya secara perlahan. Last Year Project membuat saya mengucapkan selamat tinggal untuk sementara kepada tidur teratur (dan nyenyak) serta makan yang teratur tanpa harus memikirkan pelajaran. Waktu 24 jam terasa kurang, tugas yang menggunung berikut skripsi rasanya tidak pernah memberi saya waktu untuk bernapas. Saya menjadi semakin sinis. Tidak ada rasanya hal di dunia ini yang mampu membuat saya bahagia. Target utama saya hanya melesaikan semua ini. Karena sudah terlalu jauh bagi saya untuk memutar balik dan kembali ke garis awal.

Sampai kemudian hari itu datang. 25 Juni 2016, hari terakhir saya menjadi seorang mahasiswa di Kuala Lumpur. Iya, aneh rasanya, saat tahu tanggal pulang saya yang terakhir kali dari Malaysia dengan status mahasiswa sama persis dengan tanggal saya datang pertama dengan status mahasiswa 4 tahun lalu. Sebegitunya semesta ini suka bercanda.

Hari terkahir, 25 Juni 2016, akhirnya saya tidak lagi merasa marah. Saya memang sempat marah, menyesali semua keputusan saya. But, at last i did it. Its all the matters, isn't it? Karena saya hanya perlu mencapai garis finish. Karena saya berhutang hal itu kepada orang tua saya, dan terutama diri saya sendiri.

Saya beruntung, saya hanya membenci keadaan. Setidaknya saya mencintai jurusan kuliah saya. Saya tahu persis ada banyak kawan-kawan atau adik/kakak kelas saya yang merasa salah jurusan, sehingga mereka terlalu malas untuk menyelesaikan kuliah mereka. Kebencian saya sebenarnya adalah salah satu faktor baik, yang memaksa saya menyelesaikan kuliah secepat mungkin.

Saya hanya mau berkata, untuk kalian semua. Saya bisa selesai tepat waktu bukan karena saya beruntung. Saya bekerja. Sama atau bahkan lebih lelah dari kalian. Karena setidaknya, kita berhutang untuk mencapai garis selesai itu, paling tidak kepada diri kita sendiri. We are all trying so hard to put other people first without thinking of ourselves, when the first thing we have to think is ourself. Its all the matters. Do what you happy about, finish what you've started. You are so close to the finish line, and believe me, nothing feel greater than when they put that goddamn hat in our head, as a symbol we did it. As the symbol we've made it to the finish line. As the symbol all the blood and tears finally pay off.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar