biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)

biarlah gelas menjadi saksi; betapa ku mencinta(mu)
karena cinta yang sederhana tidak pernah menuntut.

Sabtu, 23 Desember 2017

2017 Dan Segala Keajaibannya

2017

Untuk saya, 2017 diawali dengan kasar. Dengan hati penuh marah, dengan ketenangan yang pergi meninggalkan saya sejak penghujung tahun 2016. Keluhan, kemarahan, dan kesedihan adalah kawan karib saya selama awal tahun 2017. Memutuskan untuk melanjutkan sekolah atau kembali ke Kuala Lumpur untuk bekerja merupakan keputusan berat yang harus saya pilih.

Pada bulan keempat tahun 2017, akhirnya saya membuat nazar, bahwa jika saya lulus ujian masuk perguruan tinggi, artinya Tuhan menyuruh saya untuk lanjut sekolah dulu daripada bekerja lagi. Baiklah.

April sampai Mei 2017 merupakan bulan yang berlalu secepat kilat. Persiapan ujian masuk perguruan tinggi sungguh menyita waktu saya. Belajar dari siang sampai malam hanya untuk persiapan ujian.

Setelah ujian selesai, saya tenang menunggu pengumuman dengan prinsip bahwa apapun yang terjadi, itu adalah jalan Tuhan untuk saya.

Sampai kemudian saya dinyatakan lulus. Babak kehidupan baru dimulai, saya pindah ke Depok, hijrah dan memulai lagi kehidupan baru dari 0. Tanpa teman, tanpa keluarga. Sendiri. It’s KL all over again.

Setelah sebelumnya sangat sangsi bahwa saya akan menemukan teman-teman asik di perkuliahan saya, saya ditampar oleh kenyataan bahwa jangan sekali-sekali mencoba mendahului Tuhan. Siapa sangka, di Depok saya mendapat teman-teman seperjuangan sekolah lagi yang luar biasa asiknya. Asik diajak kerja, asik diajak main, lucu, menghibur, meriah… Dan, duh, jujur saja, 4 tahun saya di KL jadi seperti tidak ada apa-apanya dibanding rasa yang saya invest ke teman-teman saya selama 4 bulan di Depok ini.

2017, seperti tahun-tahun lalu. Berhasil menampar saya dengan tamapran terkerasnya. Berhasil menjorokkan saya hingga saya hampir menyerah di ujung tebing dan hampir memutuskan untuk lompat. Tapi, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, saya bangkit setelah ditampar. Saya berpegang erat pada tali penahan yang tidak seberapa kuat setiap kali kehidupan dengan caranya sendiri selalu bisa mendorong saya ke tepi tebing. Saya, bertahan.

Saya menutup 2017 dengan rasa terimakasih kepada semesta. Atas teman-teman yang baik. Atas kehidupan yang baik. Atas segala tugas dan ujian yang melelahkan tapi berhasil saya lalui. Atas rasa bahagia yang saya pikir tidak mungkin saya rasakan lagi.

Saya menutup 2017 dengan hati yang hangat.


Dear 2018, bring it on. I’m ready.

Selasa, 24 Oktober 2017

Jakarta adalah

Jakarta itu keras.
Jakarta adalah tentang belajar menerima diri sendiri apa adanya.
Jakarta adalah tentang berlari berkejaran dengan waktu, melihat siapa yang berhasil mencapai garis akhir terlebih dahulu.
Jakarta adalah tentang berdesakan, menerima bahwa kau harus membagi dunia ini dengan jutaan orang asing lainnya.
Jakarta adalah hal belajar, bahwa mencintai diri sendiri itu penting.
Jakarta adalah tentang menerima bahwa pada akhirnya, dirimu sendiri yang harus menarikmu dari keterpurukan.
Jakarta adalah tentang memasang headset yang memainkan lagu kesayangan, dengan volume yang membuatmu lupa akan dunia sekitar.
Jakarta adalah tentang egois, sekaligus tentang menjadi baik dan ramah kepada sesama orang asing.
Jakarta adalah tentang belajar bahwa kesendirian itu hal yang biasa saja.
Jakarta adalah tentang mencoba.
Mencoba memahami bahwa saat kau merasa kau punya masalah paling berat di dunia ini, di luar sana masih banyak yang berperang dengan masalah yang jauh lebih berat.

Rabu, 02 Agustus 2017

Berjalan Tanpa Kamu

Tahunan saya belajar berjalan tanpa kamu.

4 tahun saya habiskan, tertatih, belajar berjalan tanpa kamu. Belajar mencari tahu seperti apa rasanya melalui seminggu penuh tanpa sehari pun bertemu kamu. Mencari tahu seperti apa rasanya bulan berjalan tanpa saya duduk di bangku kantoria, mendengar samar suaramu, mematuhi panduanmu di paduan suara. Mencari tahu seperti apa rasanya setahun berlalu dan aku hanya mempunyai kesempatan bertemu denganmu sejumlah yang bahkan tidak memenuhi jumlah jari tanganku.

4 tahun saya jalani, dengan janji dan harapan pasti bahwa semua akan berakhir. Bahwa saya akan merasakan lagi yang namanya latihan paduan suara dua kali seminggu. Saya akan merasakan lagi tugas pelayanan kantoria di gereja sebulan sekali. Saya akan merasakan lagi setiap hari rabu bertemu deganmu, beribadah bersama.

1 tahun belakangan ini, tahun terbaik yang pernah saya alami di hidup saya. Hubungan kita yang setelah terpisah 4 tahun menjadi semakin lebih dekat. Saya jadi lebih sering nempel-nempel denganmu. Kamu jadi lebih sering memanggil panggilan sayang kepada saya. "dek", "cyn", "sayang", adalah panggilan yang sangat wajar terdengar darimu saat memanggilku. Posisi kita yang berdekatan dan tidak bisa tanpa saling nempel seperti prangko. Entah kamu yang bersender kepada saya. Entah saya yang meletakan kepala saya di bahumu, entah kita berpelukan.. saya merasa begitu bahagia, begitu dekat, begitu berarti buatmu.

Tidak pernah terbayangkan bagi saya ajan mengalami lagi perpisahan yang saya ciptakan sendiri ini untuk kedua kalinya denganmu. Maafkan aku, sungguh. Kali ini, periodenya akan lebih pendek. Lagipula, aku akan selalu pulang. Aku sudah membuktikannya, kan?

I love you. Deeply. Dearly. Your words when you said this was our last birthday we celebrate together before our separation broke my heart. But in two years, i'll be back. i'll be here again. coming to you. coming home.

Senin, 26 Desember 2016

Recap 2016

2016 ini... gimana ya jelasinnya.... 2016 ini seperti Draco Malfoy. nyebelin. sok-sokan. tapi ganteng. tapi nyebelin. ya, gitu.

Headline paling menarik di 2016 tentu saja LULUS KULIAH OMG OMG OMG I DID IT. Rasanya seperti ga percaya waktu selesai ujian tertulis terakhir sebagai anak kuliahan. It felt amazing and weird at the same time. Karena jujur, saya tidak yakin suatu hari nanti saya akan selesai menjalani kuliah saya ini. Lulus kuliah tentu saja dibarengi dengan wisuda, yang sebenarnya ga heboh-heboh amat, sih, baru S1 ini. Kalau udah PhD baru deh nanti kita heboh, yah.
Saya menuliskan cerita tentang wisuda saya. Bisa dibaca di sini.

Setelah lulus, terus ngapain? Oh, tentu saja. Kerja. Karena sama orang tua saya ga diizinkan untuk cari kerja sendiri (dengan alasan nanti keasyikan kerja dan lupa mau S2), akhirnya saya sementara kerja sama ayah saya. Hanya untuk mengisi waktu dan mengambil jeda sejenak sebelum saya lanjut S2. DAN TERNYATA.. KERJA ITU.... UWUUUUHHH. MENYEBALKAN SEKALI. Tapi ya sudahlah, jangan diisi keluhan saja postingan ini. Lanjut aja, yuk!

Salah satu yang saya syukuri di 2016 ini adalah moment saya mengenal orang baru dan mencoba sesuatu baru. Mengenal Liane Moriarty dan Colleen Hoover adalah salah satu yang paling saya syukuri. Mereka siapa, sih? Mereka penulis. Yang buku-bukunya luar biasa bagusnya.

Selain penulis, saya juga jadi kerajingan nonton tv series. Dulu, saya hanya tau F.R.I.E.N.D.S karena saya sebenarnya lebih suka nonton film, malas harus terpaksa mengikuti jalan cerita tv series yang jarang hanya sedikit. 1 season dengan belasan episode. Dan 1 tv series dengan banyak season. Tapi, di 2016, saya sangat menyesal kenapa saya baru mencoba mengikuti tv series.

Semua dimulai dari stress awal tahun di mana saya mempertaruhkan kewarasan saya yang sudah di ujung jurang karena satu pelajaran bernama Capstone. Untuk menjaga agar saya tidak gila, saya kok iseng subscribe Netflix, salah satu platform untuk nonton film dan tv series secara streaming. Niatnya sih hanya mau nonton film, eh tapi kok ada satu judul dengan icon yang menarik. Judulnya Grey's Anatomy. Dan ketika saya check ratting-nya, lah, kok tinggi? Timbullah kemudian niat iseng saya nonton season 1, karena waktu itu kebetulan cuma 7 episode. Sedikit dong ya...

TERNYATA EH TERNYATA, GREY'S ANATOMY ITU ADDICTIVE BANGET. Saya habis nonton 3 season dalam 2 hari, di tengah kegilaan capstone. Saya tidak keluar kamar 2 hari (bahkan tidak untuk makan) dan juga tidak tidur karena saya marathon 3 season Grey's Anatomy. dan series ini adalah salah satu alasan saya tetap waras meski sudah dihempa oleh capstone sedemikian rupanya. Ceritanya bisa dibaca di sini.

Setelah 11 season Grey's habis saya tonton, saya mulai browsing dan tanya sana sini tv series apa lagi yang bisa saya tonton. Kebetulan waktu itu Capstone dan thesis saya sudah selesai, jadi hanya tinggal menunggu administrasi kampus sebelum saya pulang. Jadilah saya nonton Sherlock, Castle, Supernatural, Sense8, How To Get Away With Murder, Scandal, The Catch.... semua series itu saya habiskan sepanjang 2016. Series sebanyak itu, dan masing-masing punya beberapa season dengan jumlah episode yang berbeda. Hanya satu kata yang bisa mewakilkannya. AMAZING.

Di tv series itu juga saya menemukan sahabat-sahabat terbaik saya. Karakter dari tv series yang saya rasa jauh lebih mengerti saya daripada orang-orang di kehidupan nyata saya. Cristina, Beckett, Sherlock, Nomi, Mary, Meredith, Castle, Arizona, April, Dean.. semua itu sahabat saya. Saya sayang sekali sama mereka.

Di 2016 ini juga saya mencoba satu hal yang saya pikir tidak akan pernah saya coba. Membaca ebook. Dulu saya sempat berfiikir bahwa orang yang suka membaca buku tidak akan membaca ebook. Tapi begitu saya sadar saya sudah terlalu lelah kehabisan tempat untuk menyusun buku saya, saya akhirnya memutuskan untuk mencoba membaca ebook. Dan saya jatuh cinta. Akhir tahun 2016 ditutup dengan saya membelikan Kindle sebagai hadiah natal untuk diri saya sendiri dan dengan resolusi bahwa saya akan lebih banyak membaca ebook dan mulai mengurangi membeli buku fisik.

Recap dari 2016 dalam satu kalimat adalah, 2016 was me, riding in a two road. Side by side. One way going strong and fast to the future, and the other way regretting all the decision i made. But most of all, i'm grateful. Despite how broke my heart at this year is, despite how many times i cried, i'm okay. Because at the end, i'll always be okay.

P.S: izinkan saya merenungi betapa 2016 was a shitty year, somehow. Yang paling menghancurkan hati saya adalah cerainya Brad Pitt dan Angelina Jolie, dan juga Amanda Abbington dan Martin Freeman. Love is dead for 2016. 

Jumat, 02 Desember 2016

Tentang Menikah Dan Memiliki Anak

22 tahun hidup saya, (well, 22 tahun 6 bulan, but who's counting?) saya belum terpikir untuk menikah. Kalaupun saya cukup beruntung suatu hari nanti untuk menemukan seseorang yang dengannya saya rela menghabiskan sisa hidup saya bersamanya, saya hanya ingin menikah, dan (mungkin) tanpa punya anak.

Kenapa?

Well, first of all, i come from a broken home. Not divorced broke, but my family is broken. Saya tidak ingin menghabiskan entri ini dengan berkeluh kesah, tapi intinya, keluarga saya membuat saya akan berfikir ulang 1000 kali sebelum memutuskan untuk punya anak nanti.

22 tahun hidup saya, tidak pernah saya bertemu dengan seseorang yang dengannya saya terlintas ide untuk menghabiskan hidup bersama. Saya sebegitu egoisnya. Sebegitu mementingkan diri sendiri, sedangkan dalam pernikahan, bukankah hal yang paling terlarang untuk kau lakukan adalah menjadi egois? Saya belum menemukan dia yang untuknya saya rela mendahulukan dia dan menempatkan diri saya bukan sebagai poros utama.

Tapi, beberapa bulan belakangan ini, saya mulai berubah pikiran. Ini semua karena keluarga besar Ellie dan Jared.

Ellie dan Jared itu vloggers, seorang kreatif yang memberikan keseharian mereka dalam format video untuk konten hiburan. Saya bukan tipe orang yang suka nonton video blog orang lain, karena pada intinya saya lebih suka baca daripada nonton, tapi dengan Ellie dan Jared ini berbeda. Berawal dari sekitar satu tahun lalu, saya tanpa sengaja menyaksikan satu video dari Ellie dan Jared, tentang Surprise Pregnancy Announcement. Di video itu saya melihat Jared, sang suami, yang sangat bahagia dan terkejut atas kabar hamilnya Ellie, mencium perut Ellie. Detik itu, saya membatin "damn, i'm sold" karena sungguh, saya lemah dengan seorang suami yang begitu bahagia ketika tau istrinya hamil. Berawal dari video itu, saya jatuh cinta pada Jackson, putra pertama mereka. Dan sejak saat itu saya menjadi penonton tetap vlog mereka.

Ini Jackson, natal 2 tahun lalu. Dia waktu itu masih berumur 1 tahun. Sekarang Jackson sudah jauh lebih dewasa dan lebih pintar.

NOW I BELIEVE YOU FELL IN LOVE WITH HIM TOO!

Berawal dari Ellie dan Jared, mereka menganut kepercayaan Mormon. Aliran Kristen yang percaya bahwa menikah di usia muda dan memiliki anak banyak adalah hal yang baik. Jared sendiri mempunyai 5 saudara dan Ellie punya 4. Sekilas melihat keluarga mereka saat kumpul bersama, saya jadi begitu ingin mempunyai keluarga besar.

Keluarga dari pihak Jared.

Keluarga dari pihak Ellie. 5 anak dan 17 cucu. TUJUH BELAS. Tapi terlihat seru dan menyenangkan, ya?


Salah satu addiction terbaru saya adalah Ruby, kakak pertama dari keluarga Ellie. Ruby menikah di usia 18 tahun, dan sekarang usianya 35 tahun dan sudah punya 6 anak. Yes, you didn't read it wrong. She has 6 kids. SIX. In this economy. Can you imagine? They don't have much, just enough. You can clreary see it if you watch the video. But they have each other. And that is more beautiful and important than all the money in the whole world.

You have to watch their vlog. Hanya untuk mengetahui betapa mereka adalah keluarga yang sangat manis. Sangat sangat sangat patut dijadikan keluarga idaman. They love each other so much.





They called their family 8 Passangers.

So, yes. I've been thinking of NOT having any child IF i get married one day. But for now, yeah, maybe 5 or 6 wouldn't be so bad. xD

Rabu, 14 September 2016

I Did It

4 tahun lalu, pertengahan tahun 2012, tepatnya 25 Juni 2012, saya berangkat ke Malaysia. Dengan penuh semangat, saya merasa bumi hanya sebutir debu di bawah telapak kaki saya. Merasa penuh kekuatan, menantang dunia. Merasa 4 tahun yang akan saya jalani untuk kuliah akan berlalu menyenangkan. Ternyata, saya salah.

Hanya perlu sekitar satu tahun untuk saya menyadari bahwa keputusan saya untuk kuliah ke Malaysia adalah keputusan yang salah. Oh, tunggu dulu. Itu sebenarnya bukan keputusan saya. Seperti yang saya pernah ceritakan, keinginan saya dari dulu (sejak Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas) hanyalah kuliah di Jogja atau Malang. Ya, sesederhana itu. Keputusan mendadak orang tua saya bahwa lebih baik saya belajar luar negeri begitu tiba-tiba, sehingga rasa yang ada bukanlah rasa takut atau khawatir, tapi rasa semangat. Deg-degan akan memasuki dunia baru, mempelajari hal baru, kuliah dengan jurusan yang sudah saya impingan dan inginkan sejak kecil, menjadi pemacu adrelanin saya untuk satu tahun pertama.

Sampai kemudian saya memasuki tahun kedua. Perasaan homesick pun mulai menyerang. Saya selalu ingin pulang setiap ada liburan, tidak perduli sesingkat apapun liburan itu. Satu tahun, saya bisa 4-5 kali pulang. Melelahkan, memang. Tapi saya sungguh tidak betah berada lama-lama di sana. Tidak hanya mulai merasa tidak betah, pelajaran tahun kedua yang mulai menyusahkan pun membuat saya semakin lelah.

Tahun ketiga, semua semakin buruk saja. Selalu ada hal kecil maupun besar yang saya permasalahkan. Perasaan tidak betah dan ingin segera terlepas dari dunia perkuliahan membuat saya kalap, mengambil semua mata kuliah (selama masih diijinkan), berlari dengan waktu, berharap segala usaha saya bisa mempersingkat waktu saya berada di sini daripada yang seharusnya.

Sampai memasuki tahun ke empat. Pelajaran semakin rasanya membunuh saya secara perlahan. Last Year Project membuat saya mengucapkan selamat tinggal untuk sementara kepada tidur teratur (dan nyenyak) serta makan yang teratur tanpa harus memikirkan pelajaran. Waktu 24 jam terasa kurang, tugas yang menggunung berikut skripsi rasanya tidak pernah memberi saya waktu untuk bernapas. Saya menjadi semakin sinis. Tidak ada rasanya hal di dunia ini yang mampu membuat saya bahagia. Target utama saya hanya melesaikan semua ini. Karena sudah terlalu jauh bagi saya untuk memutar balik dan kembali ke garis awal.

Sampai kemudian hari itu datang. 25 Juni 2016, hari terakhir saya menjadi seorang mahasiswa di Kuala Lumpur. Iya, aneh rasanya, saat tahu tanggal pulang saya yang terakhir kali dari Malaysia dengan status mahasiswa sama persis dengan tanggal saya datang pertama dengan status mahasiswa 4 tahun lalu. Sebegitunya semesta ini suka bercanda.

Hari terkahir, 25 Juni 2016, akhirnya saya tidak lagi merasa marah. Saya memang sempat marah, menyesali semua keputusan saya. But, at last i did it. Its all the matters, isn't it? Karena saya hanya perlu mencapai garis finish. Karena saya berhutang hal itu kepada orang tua saya, dan terutama diri saya sendiri.

Saya beruntung, saya hanya membenci keadaan. Setidaknya saya mencintai jurusan kuliah saya. Saya tahu persis ada banyak kawan-kawan atau adik/kakak kelas saya yang merasa salah jurusan, sehingga mereka terlalu malas untuk menyelesaikan kuliah mereka. Kebencian saya sebenarnya adalah salah satu faktor baik, yang memaksa saya menyelesaikan kuliah secepat mungkin.

Saya hanya mau berkata, untuk kalian semua. Saya bisa selesai tepat waktu bukan karena saya beruntung. Saya bekerja. Sama atau bahkan lebih lelah dari kalian. Karena setidaknya, kita berhutang untuk mencapai garis selesai itu, paling tidak kepada diri kita sendiri. We are all trying so hard to put other people first without thinking of ourselves, when the first thing we have to think is ourself. Its all the matters. Do what you happy about, finish what you've started. You are so close to the finish line, and believe me, nothing feel greater than when they put that goddamn hat in our head, as a symbol we did it. As the symbol we've made it to the finish line. As the symbol all the blood and tears finally pay off.

Minggu, 05 Juni 2016

Saya Dan Melayani.

Hidup saya, sejak kecil sudah dihabiskan di gereja. Mengikuti seabrek kegiatan keagamaan. Bukan mau sok religius, tapi memang iya. Sejak kecil entah kegiatan apa saja yang sudah orang tua saya berikan kepada saya, semuanya kegiatan gereja. Sekolah Minggu, kegiatan lomba anak-anak, paduan suara. Orang tua saya melakukan itu kurang lebih karena saya susah bergaul (iya, dari kecil uda introvert, diem). Saya hanya suka duduk diam di rumah, membaca buku, membaca majalah, apa saja kecuali keluar rumah. Tapi orang tua saya tahu, saya menemukan teman dan bisa enjoy jika saya mengikuti kegiatan gereja.

Umur 12 tahun, saya mulai menyikapi serius kegiatan pelayanan saya. Tidak hanya ikut paduan suara, saya les keyboard. Mimpi saya waktu itu ingin secepatnya menjadi pelayan sayap kiri di gereja, pelayan musik dan paduan suara. Pertama kali saya melayani main musik di gereja, saya umur 13 tahun. Dan saya tidak berbicara tentang main di gereja pusat, yang besar di tengah kota Samarinda. Umur dan pengalaman saya yang minim membuat saya menjadi (kasarnya) cadangan. Saya dikirim ke pedalaman Samrinda, yang hanya bisa diraih dengan perjalanan darat 2-3 jam (rata-rata) untuk main di pos pelkes, sebutan untuk gereja dari cabang di Samarinda. Gereja kecil, dengan jemaat para petani, atau orang tua yang bahkan sudah susah payah untuk berjalan ke gereja. Anak seusia saya biasanya malas pergi ke pos pelkes, meskipun terkadang orang tuanya dapat jadwal dari gereja untuk berkunjung ke pos pelkes. Ya karena itu, jauh, dan cuma liat hutan, tidak ada yang menarik. Di fase kehidupan saya yang ini, saya benar-benar belajar apa itu melayani. Karena sungguh, melayani tidak kenal tempat, tidak kenal lelah.

2 tahun kemudian, saya mulai menjadi pemain musik tetap di gereja pusat. 1 bulan, saya bisa mendapat 2-3 kali jadwal bermain di hari minggu. Di luar kegiatan rutin latihan paduan suara sektor Emaus saya, waktu saya komplit tersita oleh kegiatan-kegiatan ini. Di saat teman-teman seusia saya sibuk mengatur waktu untuk jalan bersama, saya selalu saja terhalang oleh "wah, nanti malam aku latihan.." atau "wah, gabisa, aku ada ibadah" selalu seperti itu. Dan hal ini membuat saya mempunyai sangat sedikit teman di masa sekolah saya. Tidak, saya tidak mengeluh.

Sedikitpun tidak.

Saya menjerumuskan diri saya dalam pelayanan. Merasa kurang menjadi pemain musik, saya mengabdikan diri menjadi "seksi sibuk". Ini seksi di mana tugasnya hanya kemana-kemana mengikuti perintah yang lain, karena dalam acara besar di gereja, saya masih belum cukup umur menjadi panitia. Jadi saya tidak pampang nama, tapi ikut bekerja sama kerasnya dengan mereka. Tidak ada spesifik job untuk saya, saya hanya mengerjakan apa saja yang diperintahkan kepada saya. Angkat kursi, bawa kotak makanan, siapin minuman, merapikan meja, tugas apapun, mereka tinggal meneriakan "Cyn!" dan saya otomatis akan datang ke mereka. Dengan bahagia dan senyum.

Masa remaja saya praktis saya habiskan dengan kegiatan ini. Pontang panting kesana kemari demi menyelesaikan tugas pelayanan saya, berdua bersama sahabat saya, pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya, kami jalani dengan bahagia. Sungguh, tidak ada yang bisa membayar harga bahagia yang kami dapatkan saat tau acara yang kami atur sedemikian rupa dengan peluh keringat berakhir sukses.

Saya cinta melayani. Sungguh. Dan hati saya remuk dan hancur ketika saya berangkat untuk belajar di Malaysia. Sungguh pedih meninggalkan sejenak dunia pelayanan. Menghibur diri dengan "nanti pelayanan di Malaysia" sempat membuat saya tenang, sampai saya melihat sendiri situasi sebenarnya di sini.

Saya di sini hanya tergabung di paduan suara, dan itupun jauh dari ekspektasi saya. Mereka melayani karna harus, bukan karena mau. Sangat terasa bedanya karena saya sudah bertahun-tahun melayani karena mau, dan saya menjalaninya dengan bahagia. Hal ini memakan saya hidup-hidup. Perlahan. Satu-satunya obat saya hanya setiap saya pulang ke Indonesia (yang untungnya sering itu) dan ikut pelayanan dengan Emaus. Itupun biasanya 1 kali pulang hanya dapat 1 kali tugas. Gapapa. Udah cukup untuk nge-charge battery saya untuk menunggu sampai kepulangan selanjutnya.

Di umur sekarang, saat teman-teman saya membicarkan apa saja yang mereka lakukan saat sekolah, dan saya hanya bisa bercerita hidup saya dihabiskan untuk pelayanan, sedikitpun saya tidak menyesal. Mereka mendapat kesenangan, mendapat teman saat masa sekolah. Saya mendapat ketenangan jiwa dan saudara seiman, sesuatu yang bisa saya pegang sesisa umur saya.

Menyelesaikan kuliah, 1 yang paling saya tunggu lagi adalah saya yang siap menjerumuskan diri saya lebih dalam lagi ke pelayanan gereja. Mengabdikan hidup saya kepada Dia yang sudah memberikan saya kehidupan. Emaus, kita nyanyi dan pelayanan lagi, yah!